Dalam
dekade 1990-an hingga awal 2000-an isu mengenai penerapan “Corporate
Social Responsibilty/CSR” atau “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan” telah
berkembang menjadi diskursus yang penting antara pemerintah,
perusahaan-perusahaan besar dan masyarakat sipil. Perkembangan
diskursus tersebut dilatarbelakangi oleh meningkatnya tekanan terhadap
perusahaan-perusahaan multinasional di Amerika Serikat (AS) dan
negara-negara Eropa.
Tekanan
yang berasal dari masyarakat dan pemerintah mendesak agar terjadi
keseimbangan antara orientasi bisnis dengan kepedulian atas kondisi
sosial dan lingkungan. Tentu saja tekanan yang muncul sangat berkaitan
dengan keberagaman kepentingan yang melatarbelakanginya. Tetapi
terdapat satu kesamaan mendasar dari kepentingan-kepentingan tersebut,
yaitu adanya pertanggungjawaban perusahaan atas segala aktivitas
bisnisnya terhadap masyarakat dan lingkungan.
Di
Indonesia sendiri, tiga kelompok pemikiran tersebut masing-masing
sempat dan telah berkembang dengan variasinya sendiri-sendiri. Pada
masa pemerintahan Orde Baru misalnya, kelompok pemikiran State Led
sempat mencuat dan berkembang. Pemerintahan ketika itu, sempat
mengeluarkan Inpres yang mengharuskan setiap badan usaha milik negara
(BUMN) untuk menyisihkan 2% dari laba usahanya untuk dialokasikan dalam
program-program CSR. Program CSR di lingkungan BUMN tersebut dikenal
dengan berbagai istilah, mulai program kemitraan, bina mitra
lingkungan, dan PKBL.
Peranan
pemerintah rezim Orde Baru dalam mendorong implementasi CSR juga
menyentuh sektor swasta, terutama kelompok usaha konglomerasi yang
mendominasi aktivitas bisnis di tanah air. Beberapa kali
kelompok-kelompok usaha besar dikumpulkan dan dihimbau untuk
menyisihkan sebagian keuntungannya atau menyediakan anggaran khusus
untuk program-program CSR. Dominasi pemikiran State Led semakin kukuh
dengan disahkannya Undang-undang Perseroan Terbatas tahun 2007 lalu, di
mana pada pasal 74 mengharuskan perusahaan—khususnya yang bergerak di
bidang pertambangan-- menerapkan CSR serta menyediakan anggaran khusus
untuk pembiayaan program-program CSR.
Agar
peran CSR dalam membentuk modal sosial dapat berlangsung secara
efektif, maka diperlukan peran pemerintah untuk mempengaruhi secara
positif tumbuhnya kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong royong,
partisipasi, jaringan, kolaborasi sosial, dalam suatu komunitas. Modal
sosial yang tumbuh dan berkembang dengan baik akan mempercepat
keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan sosial dan
kesejahteraan.
Pengaruh
dari pemerintah tersebut dapat berupa undang-undang, peraturan
pemerintah maupun fasilitas atau insentif tertentu yang dapat mendorong
perusahaan untuk meningkatkan perannya dalam memupuk modal sosial
melalui CSR.
Dengan
demikian, ketika CSR diwajibkan dengan regulasi, maka regulasi itu
menyatakan keberlakuan konsep pembangunan berkelanjutan. Karenanya,
regulasi lain yang diberlakukan terhadap perusahaan haruslah ditimbang
ulang apakah sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan atau tidak.
Agar pembangunan di Indonesia dapat berjalan menuju pembangunan yang
ramah ekonomi, sosial dan lingkungan sekaligus, maka regulasi yang
berkenaan dengan pemerintah dan masyarakat sipil juga harus ditimbang
dengan konsep yang sama.